Dapatkan voucher gratis ongkir Rp 20 ribu khusus app
Scan pakai HP kamu
Agus Buntung, nama yang ia sandang sejak kecil, bukan karena tubuhnya cacat, melainkan karena hidupnya terasa selalu kurang. Ia sering bertanya-tanya, apakah nama itu kutukan? Atau hanya cerminan dari dirinya yang tak pernah merasa cukup? Di usia 30-an, Agus masih terjebak dalam pencarian jati diri. Ia merasa seperti bayangan yang berjalan tanpa arah, terombang-ambing di antara kebaikan dan keburukan.
Malam itu, hujan turun deras. Agus duduk di sebuah warung kopi kecil di pinggir jalan, menatap kosong ke arah genangan air yang memantulkan lampu jalan. Ia mengingat kembali hidupnya. Ada saat-saat ia merasa menjadi manusia yang baik—seperti ketika ia membantu seorang anak kecil yang tersesat menemukan ibunya. Tapi ada juga saat-saat ia merasa menjadi manusia yang buruk—seperti ketika ia mencuri uang dari dompet temannya karena terdesak kebutuhan. Dua sisi itu terus menghantui pikirannya, membuatnya bertanya: "Apa artinya menjadi manusia? Apakah aku baik? Atau buruk?"
Seorang pria tua tiba-tiba duduk di depannya. Wajahnya penuh keriput, tapi matanya tajam, seolah bisa menembus jiwa. Agus terkejut, tapi pria itu hanya tersenyum. "Kau terlihat seperti seseorang yang sedang mencari sesuatu," katanya dengan suara serak.
Agus mengerutkan kening. "Apa maksud Bapak?"
Pria itu tidak menjawab langsung. Ia hanya menyesap kopinya perlahan, lalu berkata, "Kau tahu, Nak, manusia itu seperti koin. Ada dua sisi—baik dan buruk. Tapi apa yang membuat koin itu berharga? Bukan sisi mana yang terlihat, tapi koin itu sendiri. Kau mengerti?"
Agus terdiam. Kata-kata pria itu terasa seperti teka-teki yang sulit dipecahkan. "Jadi, maksud Bapak, aku harus menerima kedua sisi itu?"
Pria itu tersenyum lagi, kali ini lebih lebar. "Mungkin. Tapi pertanyaannya, sisi mana yang ingin kau tunjukkan pada dunia? Dan sisi mana yang ingin kau sembunyikan dari dirimu sendiri?"
Sebelum Agus sempat menjawab, pria itu bangkit dan pergi, meninggalkan secangkir kopi yang masih setengah penuh. Agus mencoba memanggilnya, tapi pria itu sudah menghilang di balik hujan.
Malam itu, Agus pulang ke kamar kosnya yang sempit. Ia duduk di depan cermin retak yang menggantung di dinding. Bayangannya terlihat terpecah-pecah, seperti dirinya yang tak utuh. Ia bertanya pada bayangan itu, "Apa aku manusia? Atau hanya bayangan yang berjalan tanpa tujuan?" Tapi cermin itu, seperti biasa, tidak memberikan jawaban.
Hari-hari berikutnya, Agus mencoba mencari makna dari kata-kata pria tua itu. Ia mulai memperhatikan setiap tindakannya, mencoba menimbang apakah ia sedang menjadi baik atau buruk. Ketika ia memberi uang kepada seorang pengemis di jalan, ia merasa menjadi manusia yang baik. Tapi ketika ia berbohong kepada bosnya untuk menghindari masalah, ia merasa menjadi manusia yang buruk. Dua sisi itu terus berperang di dalam dirinya, membuatnya semakin bingung.
Suatu malam, Agus bermimpi. Dalam mimpinya, ia berada di sebuah ruangan gelap dengan dua pintu. Di atas pintu pertama tertulis "Kebaikan", sementara di atas pintu kedua tertulis "Keburukan". Suara yang dalam dan menggema terdengar di sekelilingnya, "Pilihlah, Agus. Pintu mana yang akan kau masuki?"
Agus berdiri di tengah ruangan, bingung. Ia ingin memilih pintu "Kebaikan", tapi ia merasa tidak layak. Ia juga tidak ingin memilih pintu "Keburukan", karena ia takut akan apa yang ada di baliknya. "Kenapa aku harus memilih?" tanyanya pada suara itu.
Suara itu tertawa, dingin dan menusuk. "Karena itulah manusia, Agus. Hidup adalah tentang pilihan. Dan pilihanmu menentukan siapa dirimu."
Agus terbangun dengan keringat dingin membasahi tubuhnya. Mimpi itu terasa begitu nyata, seolah-olah ia benar-benar berada di ruangan itu. Tapi apa artinya? Apakah hidupnya benar-benar hanya tentang memilih antara baik dan buruk?
Hari itu, Agus memutuskan untuk mencari pria tua yang ia temui di warung kopi. Ia merasa pria itu memiliki jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya. Ia kembali ke warung kopi yang sama, tapi pria itu tidak ada. Ia bertanya kepada pemilik warung, tapi pemiliknya hanya menggeleng. "Tidak ada pria tua yang sering ke sini," katanya.
Agus merasa putus asa. Apakah pria itu hanya ilusi? Atau mungkin ia hanyalah bagian dari pikirannya sendiri? Tapi sebelum ia pergi, ia menemukan sesuatu di meja tempat pria itu duduk malam itu. Sebuah koin tua, dengan dua sisi yang sudah aus. Agus mengambil koin itu dan membawanya pulang.
Di kamar kosnya, Agus memandangi koin itu. Ia memutarnya di antara jari-jarinya, mencoba memahami apa yang ingin disampaikan oleh pria tua itu. Lalu ia menyadari sesuatu. Koin itu, meskipun memiliki dua sisi, tetaplah satu koin. Baik dan buruk adalah bagian dari dirinya, dan ia tidak bisa memisahkan keduanya. Tapi yang penting adalah bagaimana ia menggunakan koin itu—bagaimana ia menjalani hidupnya.
Agus tersenyum untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama. Ia tidak lagi merasa perlu memilih antara baik dan buruk. Ia hanya perlu menjadi manusia, dengan segala kekurangannya. Dan mungkin, itu sudah cukup.
Namun, di sudut kamar, cermin retak itu memantulkan bayangan yang berbeda. Bayangan itu tersenyum, tapi bukan senyum yang sama dengan Agus. Bayangan itu berbisik, "Kau pikir kau sudah menemukan jawabannya? Atau ini hanya awal dari teka-teki yang lebih besar?"
Agus menatap cermin itu lebih lama, mencoba memahami apa yang baru saja ia lihat. Bayangan itu, meskipun menyerupai dirinya, terasa berbeda. Ada sesuatu yang gelap, sesuatu yang tidak ia kenali. "Apa kau... aku?" Agus bertanya, suaranya bergetar. Tapi bayangan itu hanya tersenyum samar, senyum yang membuat bulu kuduknya berdiri.
"Apakah kau yakin sudah menemukan siapa dirimu?" tanya bayangan itu, suaranya terdengar seperti gema dari dalam kepalanya. "Kau pikir menjadi manusia itu sesederhana menerima baik dan buruk? Tidak, Agus. Menjadi manusia adalah tentang memilih. Dan kau belum memilih."
Agus menggeleng, mencoba mengusir suara itu dari pikirannya. "Aku tidak perlu memilih. Aku adalah aku, dengan semua kebaikan dan keburukanku. Itu cukup."
Bayangan itu tertawa, tawa yang dingin dan menusuk. "Kau pikir itu cukup? Kau pikir dunia akan menerima dirimu apa adanya? Tidak, Agus. Dunia akan memaksamu memilih. Dan jika kau tidak memilih, dunia akan memilihkan untukmu."
Kata-kata itu menghantam Agus seperti palu. Ia ingin membantah, tapi di dalam hatinya, ia tahu ada kebenaran dalam ucapan itu. Dunia memang tidak pernah membiarkan seseorang berdiri di tengah. Dunia selalu memaksa orang untuk berada di satu sisi—baik atau buruk, hitam atau putih. Tapi apakah itu benar? Apakah hidup benar-benar sesederhana itu?
Agus memalingkan wajahnya dari cermin, mencoba mengabaikan bayangan itu. Tapi suara itu terus berbicara, semakin keras, semakin mendesak. "Ingat, Agus. Setiap langkahmu adalah pilihan. Setiap keputusanmu adalah cerminan dari siapa dirimu. Jadi, apa yang akan kau pilih? Menjadi baik? Atau menjadi buruk?"
Agus menutup telinganya, berteriak, "Diam! Aku tidak ingin memilih! Aku hanya ingin hidup!"
Tiba-tiba, suara itu menghilang. Ruangan menjadi sunyi, begitu sunyi hingga Agus bisa mendengar detak jantungnya sendiri. Ia membuka matanya perlahan, dan cermin itu kembali memantulkan bayangan dirinya yang biasa. Tidak ada senyum aneh, tidak ada suara yang mengganggu. Hanya dirinya, dengan wajah yang lelah dan mata yang penuh pertanyaan.
Agus menghela napas panjang. Ia merasa seperti baru saja melewati badai, tapi badai itu meninggalkan sesuatu di dalam dirinya—sebuah rasa gelisah yang tidak bisa ia abaikan. Ia tahu, perjalanan ini belum selesai. Ia tahu, pertanyaan itu akan terus menghantuinya, menuntut jawaban yang tidak pernah mudah.
Hari-hari berikutnya, Agus mencoba menjalani hidupnya seperti biasa. Ia pergi bekerja, berbicara dengan teman-temannya, dan menjalani rutinitas yang sama. Tapi di setiap langkahnya, ia merasa seperti diawasi. Bukan oleh orang lain, tapi oleh dirinya sendiri. Setiap keputusan kecil—apakah ia akan membantu seseorang, atau mengabaikannya; apakah ia akan berkata jujur, atau berbohong—terasa seperti ujian. Dan setiap kali, ia mendengar suara itu di dalam kepalanya, bertanya, "Apa yang akan kau pilih, Agus?"
Suatu malam, Agus kembali bermimpi. Kali ini, ia berada di sebuah jalan panjang yang bercabang di tengahnya. Di satu sisi, jalan itu terang, penuh dengan bunga dan cahaya matahari. Di sisi lain, jalan itu gelap, penuh dengan bayangan dan suara-suara yang menakutkan. Di tengah-tengah cabang itu, ada dirinya, berdiri dengan koin tua di tangannya.
"Ini pilihanmu, Agus," suara itu berkata lagi, kali ini lebih lembut, hampir seperti bisikan. "Kau tidak bisa berdiri di sini selamanya. Kau harus memilih jalanmu."
Agus memandangi kedua jalan itu. Jalan yang terang terlihat begitu indah, begitu damai. Tapi ada sesuatu yang terasa salah. Terlalu sempurna, terlalu mudah. Sementara jalan yang gelap, meskipun menakutkan, terasa lebih nyata, lebih jujur. Ia merasa seperti jalan itu memanggilnya, menantangnya untuk menghadapi sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri.
"Apa yang ada di ujung jalan ini?" Agus bertanya, tapi tidak ada jawaban. Ia hanya memiliki koin di tangannya, dan dirinya sendiri.
Ketika ia terbangun, koin tua itu masih ada di meja di samping tempat tidurnya. Ia mengambilnya, memutarnya di antara jari-jarinya, dan untuk pertama kalinya, ia merasa sedikit lebih tenang. Ia tidak tahu apa yang ada di ujung jalan yang ia pilih, tapi ia tahu satu hal: menjadi manusia bukan tentang menjadi sempurna. Bukan tentang selalu menjadi baik, atau selalu menghindari keburukan. Menjadi manusia adalah tentang berjalan, meskipun kau tidak tahu ke mana jalan itu akan membawamu.
Dan dengan pemikiran itu, Agus melangkah keluar dari kamarnya, siap menghadapi dunia dengan segala teka-tekinya. Tapi di sudut pikirannya, ia masih mendengar suara itu, berbisik lembut, "Kau pikir ini sudah selesai, Agus? Tidak. Ini baru permulaan."